Kisah Raden Panji & Putri Cilinaya Bukti Kekuatan Cinta Yang Luar Biasa
Kisah Raden Panji yang sebenarnya berasal dari Jawa Timur ini rupanya
banyak sekali versinya. Ada yang versi Melayu sampai dengan versi
Lombok.
Tersebutlah dua orang raja bersaudara. Seorang menjadi raja di Daha dan yang seorang lagi di Keling. Kedua raja ini masih belum memiliki seorang anak. Mereka sudah berusaha dengan bermacam - macam cara supaya bisa mendapatkan anak akan tetapi semua usaha hampir sia - sia.
Hampir putus asa, mereka mengira bahwa mereka mandul, maka mencoba berobat. Tabib dan juga dukun terbaik di negeri itu sudah berusaha mengobati raja, akan tetapi tidak ada yang berhasil. Kemudian, kedua raja itu pun bernazar (berjanji dengan maksud agar dikabulkan keinginannya) ke sebuah tempat pemujaan di puncak bukit. Tempat itu bernama Batu Kemeras.
Raja Keling bernazar dengan ucapan sederhana saja, jika dikaruniai anak, ia akan datang lagi ke Batu Keramat membawa sirih pinang.
Sementara Raja Daha bernazar akan memotong kerbay berselimut sutra, bertanduk emas dan juga berkuku perak.
Demikianlah, atas izin Tuhan terkabullah niat kedua raja itu. Raja Daha dikaruniai anak perempuan yang sangat cantik, sedangkan Raja Keling dikaruniai anak lelaki yang begitu tampan. Tibalah dimaka kalanya Raja Keling dan Raja Daha memenuhi janji / nazarnya. Mereka pergi ke Batu Keramas. Meskipun Raja Keling hanya berjanji akan membawa sirih pinang, rupanya ia membawa kerbau berselimut sutra, bertanduk emas dan berkuku perak. Itulah ungkapan rasa syukur karena keinginannya mendapatkan anak telah terpenuhi.
Raja Daha yang dahulu memasang nazar besar, rupanya tidak memenuhi janjinya. Ia datang hanya membawa anak kerbau biasa.
Selesai upacara membayar nazar, pulanglah kedua raja ersebut ke negeri mereka masing - masing.
Alkisah, kala Raja Daha dalam perjalanan, datanglah angin puting beliung yang begitu kencang. Putri Raja Daha pun dibuat terbang sampai ke angkasa oleh angin tersebut. Hati raja dan permaisuri sangat sedih. Para inang pengasuh dan juga pengiring yang lainnya menangis melolong - lolong sambil membanting diri.
Semakin lama semakin jauh bayi perempuan Raja Daha itu diterbangkan oleh angin. Ia melewati padang dan bukit, akhirnya jatuh di sebuah taman. Taman itu dijaga oleh sepasang suami istri bernama Pak Bangkol dan Bu Bangkol. Kala Pak Bangkol berkeliling memeriksa taman, ia menemukan bayi tersebut tergeletak di tepi telaga. Dengan perasaan yang sangat terkejut bercampur dengan gembira, Pak Bangkol membawa bayi perempuan tersebut lantaran sudah lama memang Pak Bangkol ingin memiliki anak. Kemudian, bayi itu pun diberi Cilinaya.
Cilinaya dipelihara oleh Pak Bangkol dan Bu Bangkol dengan penuh kasih sayang. Berbagai keterampilan wanita seperti menyulam, menenun, memasak sampai merangkai bunga pun diajarkan kepadanya. Ia tumbuh menjadi seorang gadis remaha yang memiliki kecerdasan dan kecantikan yang luar biasa. Pada suatu hari, terdengar berita jika putra mahkota Raja Keling bernama Raden Panji akan pergi untuk berburu ke hutan perburuan. Rombongan putra mahkota akan singgah di taman.
Pangeran pun tiba pada saat yang sudah ditentukan. Bu Bangkol cepat - cepat menyembunyikan Cilinaya di bawah buluh terunduk benang (alat tenun dari bambu).
Bu Bangkol dan juga Pak Bangkol menyambut sang pangeran dengan penuh ramah tamah dan rasa hormat. Usai duduk berkatalah sang pangeran, "Bu, saya datang kemari karena saya bermimpi ibu mempunyai seorang anak gadis yang begitu cantik. Kecantikan anak Ibu melebihi kecantikan para bidadari dari kayangan. Tak seorang pun putri raja di muka bumi ini yang bisa menyamai kecantikan anak gadis ibu. Bu, di mana anak Ibu ? Saya ingin sekali bertemu dengannya. ia akan saya peristri."
Pucat pasi wajah Bu Bangko dan Pak Bangkol mendengar ucapan pangeran. Bu Bangkol pun lantas berkata, "Tuanku Pangeran, ketahuilah hamba tidak memiliki seorang anak gadis. Terlebih lagi yang cantik seperti yang Pangeran katakan tadi. Kalau Pangeran tidak percaya cobalah untuk periksa rumah hamba ini !"
"ha.... ha.... ha, Ibu jangan berbohong. Akan saya periksa rumah Ibu dan jika saya mendapatkannya, pasti akan saya ambil menjadi Istri. Ibu menjadi mertua saya. Haa... haaa. haaa. !"
Kemudian, Raden Panji memeriksa rumah Pak Bangkol dengan teliti. Ia mencari Putri Bu Bangkol di bawah tempat tidur, gulungan tikar sampai dengan gerobak, akan tetapi tidak ketemu. Raden Panji mulai putus asa, kemudian keluar dari rumah. Sewaktu melewati pintu, dengan takdir Tuhan tersangkutlah, sehelai rambut Cilinaya pada hulu keris Raden Panji. Raden Panji pun langsung terkejut. Ia mencari asal rambut tersebut. Cilinaya pun dijumpainya di bawah buluh terundak benang. Raden Panji begitu bergembira. Akhirnya, ia menikah dengan Cilinaya.
Setahun lamanya Raden Panjing tinggal di taman bersama dengan Cilinaya. Mereka hidup bahagia. Suatu hari, Raden Panji meminta izin untuk pulang ke negeri Keling, Sesampai di Keling, ia menceritakan kepada ayahnya jika ia sudah menikah dengan Cilinaya anak penjaga taman.
Raja keling begitu kecewa dengan anaknya yang sudah menikah dengan orang biasa. Diam - diam raja menyuruh pengawal untuk membunuh Cilinaya.
Pengawal pun lantas langsung pergi menjemput Cilinaya. Pada saat itu, Cilinaya baru saja melahirkan. Sementara itu, Raden Panji sengaja disuruh mencari hati rusa hijau untuk obat ayahnya. Sudah seminggu ayahnya berpura - pura sakit. Begitulah siasat Raja Keling agar bisa memisahkan Raden Panji dengan Cilinaya.
Pengawal membawa Cilinaya ke sebuah pantai yang sepi di Tanjung Menangis. Sesampainya di bawah sebatang pohon ketapang yang rindang, berhentilah mereka. Pengawal pun lantas menceritakan maksudnya kepada Cilinaya. Usai mendengarkan cerita itu, Cilinaya berkata dengan beruraian air mata, "Baiklah Paman, jika aku sekarang ini memang dikehendaki Ayahanda Prabu Keling, bunuhlah aku sekarang juga. Akan tetapi, sebelum Paman membunuhku akan kupetik buah maja untuk mengganti tempat anakku menyusu. Pesanku, jika darahku berbau amis, itulah tanda jika aku orang biasa. Akan tetapi, jika darahku berbau harum, ketahuilah aku juga anak seorang raja."
Cilinaya menambahkan, "Nah cabutlah kerismu Paman dan bunuhlah aku. Sampaikan salamku untuk suamiku, Raden Panji."
Cilinaya duduk berjongkok sambil memeluk bayinya. Rambutnya dilepas terurai. Ia memandang ke langit sambil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Lalu, pengawal membunuh Cilinaya di bawah pohon ketapang di Tanjung Menangis itu. Tubuh Cilinaya tergeletak di tanah dan mengalirlah darah yang begitu harum baunya. Sang bayi tergolek di samping mayat ibunya sambil memeluk buah maja.
Raden Panji yang diiringi saudarinya, Raden Irun dan juga para pengiring sedang mencari hati rusa hingga pula di tempat itu. Mereka mendengar suara tangis bayi yang sangat memilukan hati. Berlomba - lomba mereka mencari suara tangis bayi tersebut.
Kala bayi ditemukan, rupanya di sampingnya ada mayat wanita. Raden Panji pun segera membawa mayat tersebut yang merupakat mayat istrinya dari cincin yang dipakainya. Tidak terkira bagaimana sedihnya Raden Panji saat itu.
Tiba - tiba dari arah langit terdengar suara guruh dan juga petir sambar - menyambar. Angin kencang berembus dan juga awan hitam tebal menutupi angkasa. Di celah - celah suara petir itu terdengar suara gaib dari langit, "Hai Panji... !, buatlah peti mayat istrimu dan hanutkanlah ke laut. Kelak, Tuhan dengan kuasa-Nya akan mempertemukan kalian kembali !"
Setelah itu, Raden Panji menyuruhi Raden Irun dan para pengiring untuk membuat peti dari kayu. Peti itu diberi tali sepanjang seribu depa. Usai selesai, mayat istrinya dimasukkan kedalam peti. Kemudian, peti itu dihanyutkan ke laut. Raden Panji memegang talit peti itu dan menuntunnya sepanjang pantai.
Selang beberapa lama, datanglah arus laut dan juga badai yang begitu hebat. Tali pengikat peti putus dan hanyutlah peti mayat itu terbawa arus. Raden Panji berjalan sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Anak itu pun kemudian diberi nama Raden Megatsih. Peti berisi Cilinaya itu pun hanyut hingga ke negeri Daha.
Pada saat itu, Istri Raja Daha sedang berpesta ria di pantai. Ketika permaisuri melihat ada peti hanyut, ia segera menyuruh prajurit untuk mengambil peti tersebut. Rupanya, peti itu berisi seorang wanita cantik yang sedang tertidur lelap. Wanita itu tidak lain adalah Cilinaya yang ditakdirkan hidup kembali dan diambil menjadi anak oleh Raja Daha.
Beberapa tahun kemudian. Raja Daha mengadakan pesta besar. Pada pesta itu diadakan acara sabung ayam dengan taruhan yang begitu besar. Para raja dari berbagai negeri datang untuk ikut sabung ayam tersebut. Mereka mempertaruhkan wilayah negeri masing - masing.
Meriah sekali pesta perjudian di Kerajaan Daha itu. Di antara para penyabung ada juga anak laki - laki kecil membawa ayam jago berbulu hijau, berjengger dan juga berekor indah. Kokok ayam itu begitu aneh bunyinya, "Do do Panji Kembang ikok maya. Ayahku Panji, ibuku Cilinaya !" Semua orang sangat heran mendengar kokok ayam itu. Putri Cilinaya begitu gembira bahwa yang datang rupanya adalah anaknya.
Raja Daha segera menyabung ayamnya dengan ayam Raden Megatsih. Sebagai taruhan, separuh kerajaan Daha akan diberikan kepada Raden Megatsih jika ayamnya menang. Dalam satu gebrakan saja, matilah ayam Raja Daha. Raja Daha menepati janji dan menyerahkan separo kerajaannya. Putri Cilinaya begitu bersuka cita. Ia kemudian memanggil Raden Megatsih dan memberitahu dirinya jika ia adalah ibunya. Demikianlah, Raden Megatsih kemudian pulang ke Keling untuk memberitahukan pertemuannya itu dengan sang Ibu Cilinaya.
Raden Panji yang hampir tidak percaya mendengar penuturan anaknya. Ia pun segera pergi ke Daha. Rupanya benar, istrinya itu masih hidup. Kini bersatulah kembali suami istri yang saling mencintai itu. Jika sudah jodoh, memang laut dan gunung pun tidak akan bisa memisahkan dua orang yang saling mencintai.
Tersebutlah dua orang raja bersaudara. Seorang menjadi raja di Daha dan yang seorang lagi di Keling. Kedua raja ini masih belum memiliki seorang anak. Mereka sudah berusaha dengan bermacam - macam cara supaya bisa mendapatkan anak akan tetapi semua usaha hampir sia - sia.
Hampir putus asa, mereka mengira bahwa mereka mandul, maka mencoba berobat. Tabib dan juga dukun terbaik di negeri itu sudah berusaha mengobati raja, akan tetapi tidak ada yang berhasil. Kemudian, kedua raja itu pun bernazar (berjanji dengan maksud agar dikabulkan keinginannya) ke sebuah tempat pemujaan di puncak bukit. Tempat itu bernama Batu Kemeras.
Raja Keling bernazar dengan ucapan sederhana saja, jika dikaruniai anak, ia akan datang lagi ke Batu Keramat membawa sirih pinang.
Sementara Raja Daha bernazar akan memotong kerbay berselimut sutra, bertanduk emas dan juga berkuku perak.
Demikianlah, atas izin Tuhan terkabullah niat kedua raja itu. Raja Daha dikaruniai anak perempuan yang sangat cantik, sedangkan Raja Keling dikaruniai anak lelaki yang begitu tampan. Tibalah dimaka kalanya Raja Keling dan Raja Daha memenuhi janji / nazarnya. Mereka pergi ke Batu Keramas. Meskipun Raja Keling hanya berjanji akan membawa sirih pinang, rupanya ia membawa kerbau berselimut sutra, bertanduk emas dan berkuku perak. Itulah ungkapan rasa syukur karena keinginannya mendapatkan anak telah terpenuhi.
Raja Daha yang dahulu memasang nazar besar, rupanya tidak memenuhi janjinya. Ia datang hanya membawa anak kerbau biasa.
Selesai upacara membayar nazar, pulanglah kedua raja ersebut ke negeri mereka masing - masing.
Alkisah, kala Raja Daha dalam perjalanan, datanglah angin puting beliung yang begitu kencang. Putri Raja Daha pun dibuat terbang sampai ke angkasa oleh angin tersebut. Hati raja dan permaisuri sangat sedih. Para inang pengasuh dan juga pengiring yang lainnya menangis melolong - lolong sambil membanting diri.
Semakin lama semakin jauh bayi perempuan Raja Daha itu diterbangkan oleh angin. Ia melewati padang dan bukit, akhirnya jatuh di sebuah taman. Taman itu dijaga oleh sepasang suami istri bernama Pak Bangkol dan Bu Bangkol. Kala Pak Bangkol berkeliling memeriksa taman, ia menemukan bayi tersebut tergeletak di tepi telaga. Dengan perasaan yang sangat terkejut bercampur dengan gembira, Pak Bangkol membawa bayi perempuan tersebut lantaran sudah lama memang Pak Bangkol ingin memiliki anak. Kemudian, bayi itu pun diberi Cilinaya.
Cilinaya dipelihara oleh Pak Bangkol dan Bu Bangkol dengan penuh kasih sayang. Berbagai keterampilan wanita seperti menyulam, menenun, memasak sampai merangkai bunga pun diajarkan kepadanya. Ia tumbuh menjadi seorang gadis remaha yang memiliki kecerdasan dan kecantikan yang luar biasa. Pada suatu hari, terdengar berita jika putra mahkota Raja Keling bernama Raden Panji akan pergi untuk berburu ke hutan perburuan. Rombongan putra mahkota akan singgah di taman.
Pangeran pun tiba pada saat yang sudah ditentukan. Bu Bangkol cepat - cepat menyembunyikan Cilinaya di bawah buluh terunduk benang (alat tenun dari bambu).
Bu Bangkol dan juga Pak Bangkol menyambut sang pangeran dengan penuh ramah tamah dan rasa hormat. Usai duduk berkatalah sang pangeran, "Bu, saya datang kemari karena saya bermimpi ibu mempunyai seorang anak gadis yang begitu cantik. Kecantikan anak Ibu melebihi kecantikan para bidadari dari kayangan. Tak seorang pun putri raja di muka bumi ini yang bisa menyamai kecantikan anak gadis ibu. Bu, di mana anak Ibu ? Saya ingin sekali bertemu dengannya. ia akan saya peristri."
Pucat pasi wajah Bu Bangko dan Pak Bangkol mendengar ucapan pangeran. Bu Bangkol pun lantas berkata, "Tuanku Pangeran, ketahuilah hamba tidak memiliki seorang anak gadis. Terlebih lagi yang cantik seperti yang Pangeran katakan tadi. Kalau Pangeran tidak percaya cobalah untuk periksa rumah hamba ini !"
"ha.... ha.... ha, Ibu jangan berbohong. Akan saya periksa rumah Ibu dan jika saya mendapatkannya, pasti akan saya ambil menjadi Istri. Ibu menjadi mertua saya. Haa... haaa. haaa. !"
Kemudian, Raden Panji memeriksa rumah Pak Bangkol dengan teliti. Ia mencari Putri Bu Bangkol di bawah tempat tidur, gulungan tikar sampai dengan gerobak, akan tetapi tidak ketemu. Raden Panji mulai putus asa, kemudian keluar dari rumah. Sewaktu melewati pintu, dengan takdir Tuhan tersangkutlah, sehelai rambut Cilinaya pada hulu keris Raden Panji. Raden Panji pun langsung terkejut. Ia mencari asal rambut tersebut. Cilinaya pun dijumpainya di bawah buluh terundak benang. Raden Panji begitu bergembira. Akhirnya, ia menikah dengan Cilinaya.
Setahun lamanya Raden Panjing tinggal di taman bersama dengan Cilinaya. Mereka hidup bahagia. Suatu hari, Raden Panji meminta izin untuk pulang ke negeri Keling, Sesampai di Keling, ia menceritakan kepada ayahnya jika ia sudah menikah dengan Cilinaya anak penjaga taman.
Raja keling begitu kecewa dengan anaknya yang sudah menikah dengan orang biasa. Diam - diam raja menyuruh pengawal untuk membunuh Cilinaya.
Pengawal pun lantas langsung pergi menjemput Cilinaya. Pada saat itu, Cilinaya baru saja melahirkan. Sementara itu, Raden Panji sengaja disuruh mencari hati rusa hijau untuk obat ayahnya. Sudah seminggu ayahnya berpura - pura sakit. Begitulah siasat Raja Keling agar bisa memisahkan Raden Panji dengan Cilinaya.
Pengawal membawa Cilinaya ke sebuah pantai yang sepi di Tanjung Menangis. Sesampainya di bawah sebatang pohon ketapang yang rindang, berhentilah mereka. Pengawal pun lantas menceritakan maksudnya kepada Cilinaya. Usai mendengarkan cerita itu, Cilinaya berkata dengan beruraian air mata, "Baiklah Paman, jika aku sekarang ini memang dikehendaki Ayahanda Prabu Keling, bunuhlah aku sekarang juga. Akan tetapi, sebelum Paman membunuhku akan kupetik buah maja untuk mengganti tempat anakku menyusu. Pesanku, jika darahku berbau amis, itulah tanda jika aku orang biasa. Akan tetapi, jika darahku berbau harum, ketahuilah aku juga anak seorang raja."
Cilinaya menambahkan, "Nah cabutlah kerismu Paman dan bunuhlah aku. Sampaikan salamku untuk suamiku, Raden Panji."
Cilinaya duduk berjongkok sambil memeluk bayinya. Rambutnya dilepas terurai. Ia memandang ke langit sambil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Lalu, pengawal membunuh Cilinaya di bawah pohon ketapang di Tanjung Menangis itu. Tubuh Cilinaya tergeletak di tanah dan mengalirlah darah yang begitu harum baunya. Sang bayi tergolek di samping mayat ibunya sambil memeluk buah maja.
Raden Panji yang diiringi saudarinya, Raden Irun dan juga para pengiring sedang mencari hati rusa hingga pula di tempat itu. Mereka mendengar suara tangis bayi yang sangat memilukan hati. Berlomba - lomba mereka mencari suara tangis bayi tersebut.
Kala bayi ditemukan, rupanya di sampingnya ada mayat wanita. Raden Panji pun segera membawa mayat tersebut yang merupakat mayat istrinya dari cincin yang dipakainya. Tidak terkira bagaimana sedihnya Raden Panji saat itu.
Tiba - tiba dari arah langit terdengar suara guruh dan juga petir sambar - menyambar. Angin kencang berembus dan juga awan hitam tebal menutupi angkasa. Di celah - celah suara petir itu terdengar suara gaib dari langit, "Hai Panji... !, buatlah peti mayat istrimu dan hanutkanlah ke laut. Kelak, Tuhan dengan kuasa-Nya akan mempertemukan kalian kembali !"
Setelah itu, Raden Panji menyuruhi Raden Irun dan para pengiring untuk membuat peti dari kayu. Peti itu diberi tali sepanjang seribu depa. Usai selesai, mayat istrinya dimasukkan kedalam peti. Kemudian, peti itu dihanyutkan ke laut. Raden Panji memegang talit peti itu dan menuntunnya sepanjang pantai.
Selang beberapa lama, datanglah arus laut dan juga badai yang begitu hebat. Tali pengikat peti putus dan hanyutlah peti mayat itu terbawa arus. Raden Panji berjalan sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Anak itu pun kemudian diberi nama Raden Megatsih. Peti berisi Cilinaya itu pun hanyut hingga ke negeri Daha.
Pada saat itu, Istri Raja Daha sedang berpesta ria di pantai. Ketika permaisuri melihat ada peti hanyut, ia segera menyuruh prajurit untuk mengambil peti tersebut. Rupanya, peti itu berisi seorang wanita cantik yang sedang tertidur lelap. Wanita itu tidak lain adalah Cilinaya yang ditakdirkan hidup kembali dan diambil menjadi anak oleh Raja Daha.
Beberapa tahun kemudian. Raja Daha mengadakan pesta besar. Pada pesta itu diadakan acara sabung ayam dengan taruhan yang begitu besar. Para raja dari berbagai negeri datang untuk ikut sabung ayam tersebut. Mereka mempertaruhkan wilayah negeri masing - masing.
Meriah sekali pesta perjudian di Kerajaan Daha itu. Di antara para penyabung ada juga anak laki - laki kecil membawa ayam jago berbulu hijau, berjengger dan juga berekor indah. Kokok ayam itu begitu aneh bunyinya, "Do do Panji Kembang ikok maya. Ayahku Panji, ibuku Cilinaya !" Semua orang sangat heran mendengar kokok ayam itu. Putri Cilinaya begitu gembira bahwa yang datang rupanya adalah anaknya.
Raja Daha segera menyabung ayamnya dengan ayam Raden Megatsih. Sebagai taruhan, separuh kerajaan Daha akan diberikan kepada Raden Megatsih jika ayamnya menang. Dalam satu gebrakan saja, matilah ayam Raja Daha. Raja Daha menepati janji dan menyerahkan separo kerajaannya. Putri Cilinaya begitu bersuka cita. Ia kemudian memanggil Raden Megatsih dan memberitahu dirinya jika ia adalah ibunya. Demikianlah, Raden Megatsih kemudian pulang ke Keling untuk memberitahukan pertemuannya itu dengan sang Ibu Cilinaya.
Raden Panji yang hampir tidak percaya mendengar penuturan anaknya. Ia pun segera pergi ke Daha. Rupanya benar, istrinya itu masih hidup. Kini bersatulah kembali suami istri yang saling mencintai itu. Jika sudah jodoh, memang laut dan gunung pun tidak akan bisa memisahkan dua orang yang saling mencintai.
Komentar
Posting Komentar